Selamat Datang di Website Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia (GMPI) Korda Sulawesi Utara
 

Kamis, September 11, 2014

PEMILIHAN KEPALA DAERAH MELALUI DPRD, MASIHKAH RAKYAT BERDAULAT ?

0 komentar
Demokrasi
Ilustrasi
Oleh : Pengasihan Susanto Amisan, Jurnalis Sulut 

Manuver politik yang dilakukan beberapa partai politik yang tergabung dalam koalisi Merah Putih, untuk mengembalikan model Pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan tidak lagi secara langsung oleh rakyat, seperti yang terjadi pada era pemerintahan Presiden Soeharto (rezim Orde Baru), mulai menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan elit politik di daerah, termasuk masyarakat pada umumnya selaku pemegang kedaulatan. 

Banyak yang setuju model pilkada kembali dilakukan oleh DPRD, terutama barisan pendukung koalisi Merah Putih. Dengan argumentasi alasan untuk menghemat uang negara, yang selama beberapa tahun terakhir ini banyak terserap untuk tahapan Pilkada. Juga sebagai sarana meminimalisir konflik sosial antar kelompok yang sering timbul pasca pilkada, termasuk juga meminimalisir tindak pidana korupsi yang acap kali dilakukan oleh para elit partai berkuasa untuk biaya politik dalam suatu pilkada. 


Namun dilain pihak banyak pula yang justru tidak setuju dengan gagasan untuk kembali ke model pilkada ala rezim orde baru itu, terutama partai politik dan kelompok yang konsisten dengan agenda Reformasi 1998, yakni mengembalikan kedaulatan ditangan rakyat. Argumentasi semacam itu cukup selaras dengan amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 1, bahwa kedaulatan berada di tangan dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. 

Dalam sistem pemerintahan presidensil yang kita anut sekarang ini, tentu ciri yang cukup nenonjol adalah model pemilihan secara langsung untuk jabatan pimpinan eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR dan DPD RI). Oleh karena itu, dalam konteks pemerintahan daerah, tentu jika DPRDnya dipilih secara langsung oleh rakyat, maka sebagai mitra kerja kepala daerah juga mestinya tetap dipilih oleh rakyat, agar kepala daerah juga mendapat mandate legitimasi yang sama dan asli dari pemegang kedaulatan. 

Memang secara umum model pilukada secara langsung maupun tidak langsung atau melalui DPRD, sebetulnya masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan dari model pilkada langsung, tampak pada kekuatan legitimasi yang diberikan secara langsung oleh rakyat selaku pemegang kedaulatan, juga hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut dalam sebuah negara republik dengan sistem pemerintahan presidensil. Namun kelemahannya, acap kali menimbulkan kerentanan konflik antar kelompok masyarakat, juga pemborosan anggaran negara. 

Sementara pemilihan lewat DPRD meliki kelebihan yakni efisiensi anggaran negara, karena tak bisa dipungkiri bahwa dalam penyelenggaraan sebuah pilkada, tidak kurang dari belasan miliar uang negara yang digelontorkan untuk membiayai operasional seluruh tahapan, mulai dari proses pendataan pemilih hingga urusan sengketa pemilu di Mahkama Konstitusi (MK). Selain itu proses pemilihan lewat DPRD relative lebih kondusif, karena ranah konflik bisa dikanalisasi hanya dalam lingkup DPRD. Namun kelemahannya, kepala daerah yang dipilih oleh DPRD, tidak lagi mendapat legitimasi asli dari rakyat. 

Mengenai makna kalimat ‘Gubernur, Bupati, dan Walikota ….. dipilih secara demokratis’ sebagaimana termaktub dalam konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat 4 (empat), memang bisa diartikan pemilihan langsung dan tidak langsung. Namun jika menilik sejarah proses amandemen UUD 1945 tersebut, maka pencantuman kata secara demokratis itu, dilatarbelakangi oleh alasan keberadaan daerah tertentu, khsusunya Jogjakarta, yang karena statusnya sebagai daerah istimewa, Gubernurnya tidak dipilih secara langsung. 

Dari segi history sebagaimana dikutik dari portal gresnews.com bahwa dalam risalah sidang Panitia Ad Hok (PAH) I BP MPR RI, jelas tergambar istila kepala daerah dipilih secara demokratis, pertama kali diusulkan oleh Fraksi PDI Perjuangan. Mereka melihat pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan pasal 18 UUD 1945 sebagaimana mestinya. Karena pemilihan kepala daerah selama resim orde baru yang dilakukan melalui DPRD, banyak diwarnai rekayasa dan intimidasi, serta mengutamakan para tokoh formal, sehingga peluang tokoh informal tertutup rapat. 

Malahan gagasan terkait pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat justru dikemukakan secara tegas dan gamblang oleh Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Daulat Umah, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (PKP, PDI, PNI Massa Marhaen, Partai Bineka Tunggal Ika, PNI Front Marhaenis), Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Utusan Golongan dan Fraksi Reformasi (PAN dan Partai Keadilan). Sebagian dari mereka sekarang justru berbalik mendukung pemilihan kepala daerah lewat DPRD. 

Sikap inkonsisten dari beberapa partai politik yang tergabung dalam koalisi Merah Putih, terhadap sikap politik yang mereka saat perumusan amandemen ke Tiga UUD 1945, tentu tak bisa dilepaskan dari perkembangan konstalasi politik pasca pemilu presiden 2014, yang dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo – Jusuf Kala (Jokowi-JK). Koalisi merah putih yang komposisi kekuatannya lebih dari setengah jumlah DPRD seluruh Indonesia, tentu ingin menguasai pemerintahan di daerah. 

Kondisi itulah yang nampaknya membuat partai yang tergabung dalam koalisi Merah Putih, membelot dan setuju dengan usulan pemerintah. Jadi jika RUU Pilkada disahkan, dan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, maka berkemungkinan semua Gubernur, Bupati dan Walikotanya adalah kader-kader dari partai yang tergabung dalam koalisi Merah Putih. Sebaliknya koalisi partai pengusung Presiden terpilih Jokowi-JK peluangnya sangat kecil untuk menjadi Gubernu, Bupati dan Walikota. (*) 

0 komentar:

 
GMPI KORDA SULUT © CopyRight2011 GMPI KORDA SULUT Website Design. oleh Andre Sulung