Ilustrasi |
Oleh : Pengasihan Susanto Amisan, Jurnalis Sulut
Manuver politik yang dilakukan beberapa partai
politik yang tergabung dalam koalisi Merah Putih, untuk mengembalikan model
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dan tidak lagi secara langsung oleh rakyat, seperti yang terjadi pada era
pemerintahan Presiden Soeharto (rezim Orde Baru), mulai menimbulkan sikap pro
dan kontra di kalangan elit politik di daerah, termasuk masyarakat pada umumnya
selaku pemegang kedaulatan.
Banyak yang setuju model pilkada kembali dilakukan
oleh DPRD, terutama barisan pendukung koalisi Merah Putih. Dengan argumentasi
alasan untuk menghemat uang negara, yang selama beberapa tahun terakhir ini
banyak terserap untuk tahapan Pilkada. Juga sebagai sarana meminimalisir
konflik sosial antar kelompok yang sering timbul pasca pilkada, termasuk juga
meminimalisir tindak pidana korupsi yang acap kali dilakukan oleh para elit
partai berkuasa untuk biaya politik dalam suatu pilkada.
Namun dilain pihak banyak pula yang justru tidak
setuju dengan gagasan untuk kembali ke model pilkada ala rezim orde baru itu,
terutama partai politik dan kelompok yang konsisten dengan agenda Reformasi
1998, yakni mengembalikan kedaulatan ditangan rakyat. Argumentasi semacam itu
cukup selaras dengan amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 1, bahwa kedaulatan
berada di tangan dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
Dalam sistem pemerintahan presidensil yang kita anut
sekarang ini, tentu ciri yang cukup nenonjol adalah model pemilihan secara
langsung untuk jabatan pimpinan eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR dan
DPD RI). Oleh karena itu, dalam konteks pemerintahan daerah, tentu jika DPRDnya
dipilih secara langsung oleh rakyat, maka sebagai mitra kerja kepala daerah
juga mestinya tetap dipilih oleh rakyat, agar kepala daerah juga mendapat
mandate legitimasi yang sama dan asli dari pemegang kedaulatan.
Memang secara umum model pilukada secara langsung
maupun tidak langsung atau melalui DPRD, sebetulnya masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan dari model pilkada langsung, tampak pada
kekuatan legitimasi yang diberikan secara langsung oleh rakyat selaku pemegang
kedaulatan, juga hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut
dalam sebuah negara republik dengan sistem pemerintahan presidensil. Namun
kelemahannya, acap kali menimbulkan kerentanan konflik antar kelompok
masyarakat, juga pemborosan anggaran negara.
Sementara pemilihan lewat DPRD meliki kelebihan
yakni efisiensi anggaran negara, karena tak bisa dipungkiri bahwa dalam
penyelenggaraan sebuah pilkada, tidak kurang dari belasan miliar uang negara
yang digelontorkan untuk membiayai operasional seluruh tahapan, mulai dari
proses pendataan pemilih hingga urusan sengketa pemilu di Mahkama Konstitusi
(MK). Selain itu proses pemilihan lewat DPRD relative lebih kondusif, karena
ranah konflik bisa dikanalisasi hanya dalam lingkup DPRD. Namun kelemahannya,
kepala daerah yang dipilih oleh DPRD, tidak lagi mendapat legitimasi asli dari
rakyat.
Mengenai makna kalimat ‘Gubernur, Bupati, dan Walikota
….. dipilih secara demokratis’ sebagaimana termaktub dalam konstitusi UUD 1945
pasal 18 ayat 4 (empat), memang bisa diartikan pemilihan langsung dan tidak
langsung. Namun jika menilik sejarah proses amandemen UUD 1945 tersebut, maka
pencantuman kata secara demokratis itu, dilatarbelakangi oleh alasan keberadaan
daerah tertentu, khsusunya Jogjakarta, yang karena statusnya sebagai daerah
istimewa, Gubernurnya tidak dipilih secara langsung.
Dari segi history sebagaimana dikutik dari portal
gresnews.com bahwa dalam risalah sidang Panitia Ad Hok (PAH) I BP MPR RI, jelas
tergambar istila kepala daerah dipilih secara demokratis, pertama kali
diusulkan oleh Fraksi PDI Perjuangan. Mereka melihat pemerintah belum
sepenuhnya melaksanakan pasal 18 UUD 1945 sebagaimana mestinya. Karena
pemilihan kepala daerah selama resim orde baru yang dilakukan melalui DPRD,
banyak diwarnai rekayasa dan intimidasi, serta mengutamakan para tokoh formal,
sehingga peluang tokoh informal tertutup rapat.
Malahan gagasan terkait pemilihan kepala daerah
secara langsung oleh rakyat justru dikemukakan secara tegas dan gamblang oleh
Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Daulat Umah, Fraksi Kesatuan
Kebangsaan Indonesia (PKP, PDI, PNI Massa Marhaen, Partai Bineka Tunggal Ika,
PNI Front Marhaenis), Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Utusan Golongan dan
Fraksi Reformasi (PAN dan Partai Keadilan). Sebagian dari mereka sekarang
justru berbalik mendukung pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Sikap inkonsisten dari beberapa partai politik yang
tergabung dalam koalisi Merah Putih, terhadap sikap politik yang mereka saat
perumusan amandemen ke Tiga UUD 1945, tentu tak bisa dilepaskan dari
perkembangan konstalasi politik pasca pemilu presiden 2014, yang dimenangkan
oleh pasangan Joko Widodo – Jusuf Kala (Jokowi-JK). Koalisi merah putih yang
komposisi kekuatannya lebih dari setengah jumlah DPRD seluruh Indonesia, tentu
ingin menguasai pemerintahan di daerah.
Kondisi itulah yang nampaknya membuat partai yang
tergabung dalam koalisi Merah Putih, membelot dan setuju dengan usulan
pemerintah. Jadi jika RUU Pilkada disahkan, dan kepala daerah dikembalikan ke
DPRD, maka berkemungkinan semua Gubernur, Bupati dan Walikotanya adalah
kader-kader dari partai yang tergabung dalam koalisi Merah Putih. Sebaliknya
koalisi partai pengusung Presiden terpilih Jokowi-JK peluangnya sangat kecil
untuk menjadi Gubernu, Bupati dan Walikota. (*)
0 komentar:
Posting Komentar