Indonesia adalah negara yang sangat luas. Negeri ini sama luasnya
dengan penggabungan tujuh negara eropa: Inggris, Perancis, Jerman barat,
Belgia, Belanda, Spanyol, dan Italia.
Pada permulaan abad 20, jumlah penduduk Indonesia adalah enam kali
lipat dari negeri yang menjajahnya: Belanda. Selama berabad-abad bangsa
Indonesia berjuang melawan kolonialisme Belanda itu.
Pada permulaan abad 20, pada tahun 1920-an, muncul seorang pionir
dari gerakan pembebasan nasional Indonesia: Soekarno. Berbagai gerakan
politik yang diusung oleh Soekarno, juga penyebaran gagasan-gagasannya,
dianggap mengancam eksistensi kekuasaan kolonial.
Soekarno, yang banyak dipengaruhi oleh gagasan Marxisme dan aliran
nasionalisme progressif, banyak membenangkan hidupnya dalam pekerjaan
menganalisa watak imperialisme dan cara-cara melawannya.
Empat strategi imperialisme
Pada tahun 1930, di dalam penjara kolonial, Bung Karno menyusun
sebuah pidato pembelaannya (pledoi). Berkat bantuan istrinya, Inggit
Ginarsih, yang setia menyelundupkan buku-buku ke dalam penjara, Bung
Karno mematangkan pandangannya tentang imperialisme. Salah satu analisa Bung Karno yang sangat menarik adalah empat
strategi imperialisme untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia:
Pertama, sistem imperialisme melahirkan politik divide et impera, yakni politik memecah-belah.
Menurut Soekarno, imperialisme di mana saja, apapun bentuknya, punya slogan yang sama: “Verdeel en heers”—pecahkan dan kuasai! Dengan menggunakan mantra itu, kolonialisme bisa membangun kekuasaan di negara lain. Itu pula yang terjadi di Indonesia. Negeri yang luasnya 60 kali luas
Belanda ini bisa ditaklukkan sampai ratusan tahun. Tentu saja, kata
Soekarno, senjata pamungkas belanda terletak pada politik “divide et
impera”. Ada banyak cara untuk menjalankan politik adu domba ini: menggunakan
media massa untuk meniupkan perpecahan. Di sini, pers-pers belanda
selalu merendahkan, bahkan melemahkan, setiap upaya pembangkitan
nasionalisme kaum inlander (bumiputra); menjalankan politik
“eilandgouvernementen” pemerintahan sepulau-sepulau dengan memecah belah
administrasi pemerintahan; menggunakan agama untuk memicu konfrontasi
dengan pemeluk agama lain.
Kedua, sistem imperialisme menetapkan bangsa Indonesia dalam kemunduran. Imperialisme berusaha membawa bangsa Indonesia ke arah kemuduran.
Caranya, salah satunya, adalah penghancuran fikiran-fikiran (akal budi)
rakyat. Politik kolonial mengubah rakyat Indonesia menjadi rakyat kecil, “nrima”,
rendah pengetahuannya, lembek kemauannya, sedikit nafsu-nafsunya,
hilang keberaniannya. Pendek kata, kolonialisme mengubah rakyak
Indonesia menjadi (maaf) rakyat kambing yang bodoh dan mati energinya. Pemikir perancis yang anti-kolonial, Frantz Fanon, juga menguraikan
bagaimana kolonialisme menghancurkan budaya dan karakter rakyat.
Akibatnya, rakyat di negara jajahan ditingalkan dalam kebingungan
intelektual dan moral.
Ketiga, sistem imperialisme membangun kepercayaan di dalam
hati dan fikiran rakyat, bahwa bangsa penjajah lebih superior dibanding
bangsa terjajah. Kolonialisme di mana saja, kata Bung Karno, selalu berusaha menutupi
maksudnya, bahkan menciptakan teori manis untuk mencapai tujuan mereka. Tidak jarang, misalnya, kita menemukan literatur yang menyebutkan
bahwa misi kolonialisme adalah “misi suci” (mission sacree): penyebaran
agama, menyebarkan pencerahan, dan membuat rakyat jajahan menjadi
“beradab”. Tidak jarang, dalam upaya menanamkan superioritasnya, pihak
kolonialis melegitimasi keunggulan-keunggulan rasial: kulit putih lebih
unggul dari kulit berwarna. Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia,
kita sering mendengar bagaimana cacian “inlander” disepadamkan dengan
makian “anjing”, “kerbau”, dan lain-lain. Yang lebih parah, seperti diakui Bung Karno, rakyat Indonesia
dicecoki dengan anggapan “inlander bodoh”. Dengan cekokan itu, yang
berlangsung secara turun-temurun, rakyat jajahan kehilangan kepercayaan
diri dan kebanggaannya.
Keempat, sistem imperialisme membangun kepercayaan di dalam
hati dan fikiran rakyat, bahwa kepentingan rakyat akan sejalan dengan
kepentingan imperialisme.
Imperialisme juga sangat piawai menutupi adanya pertentangan
kepentingan antara pihaknya dengan rakyat di negara jajahan. Di bidang
ekonomi, misalnya, dikatakan bahwa imperialisme memberi keuntungan,
seperti adanya industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan
lain-lain. Penanaman modal asing, sebagai salah satu ciri imperialisme,
dipropagandakan membawa keuntungan bagi rakyat jajahan: ada proses
pembangunan, ada pembukaan lapangan kerja, ada pembangunan
infrastruktur, dan lain sebagainya. Dengan keempat senjata di atas, kolonialisme Belanda sanggup mempertahankan kekuasannya ratusan tahun di Indonesia.
Empat Strategi Kontra-Imperialisme
Dengan berpegan pada analisa di atas, Bung Karno pun merumuskan dasar
politik anti-imperalismenya. Ini pula yang mendasari pendirian
partainya: Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pertama, menjalankan politik kontra pecah belah. Soekarno, sejak terjun dalam dunia pergerakan, menyadari bahwa
kemerdekaan tidak mungkin tercapai tanpa adanya persatuan seluruh rakyat
Indonesia. Pada tahun 1926, setahun sebelum pendirian PNI, Bung Karno sudah
merumuskan konsep persatuan gerakan rakyat melalui tulisan
“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.
Dalam tulisan itu, yang didalamnya disertai penjelasan yang sangat
mendalam, Bung Karno menegaskan bahwa tiga aliran dalam politik
Indonesia, yaitu nasionalis, agama, dan marxis, bisa bersatu untuk
mencapai Indonesia merdeka. “Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di
seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya
pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di
Indonesia-kita ini,” tulis Bung Karno, seraya menekankan pentingnya
persatuan itu.
Politik persatuan dalam revolusi nasional ini menjadi politik Bung
Karno hingga akhir hayatnya. Begitu gigihnya Bung Karno memegang
keyakinan politik itu, banyak orang yang menggelari Bung Karno sebagai
bapak persatuan.
Kedua, menjalankan kontra kemunduruan, yakni kontra dekadensi akal-budi. Dalam lapangan ini, Bung Karno tidak berhenti menganjurkan perlunya
memperluas pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, dan
mengurangi buta-huruf di kalangan rakyat. Di PNI, Bung Karno mengharuskan adanya kursus politik, penciptakan mesin propaganda berupa koran, dan pembentukan “massa aksi”.
Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno menyadari bahwa mental warisan
kolonial belum sepenuhnya menghilang. Karenanya, ia pun menggagas apa
yang disebut sebagai pembangunan bangsa dan karakternya (nation and character building). Dengan revolusi mental semacam itu, kita berharap bisa menjebol fikiran kolot dan fikiran-fikiran rendah diri.
Ketiga, kontra penanaman kepercayaan bahwa kita bangsa kelas kambing. Azas PNI adalah “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan
sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari) di kalangan rakyat Indonesia. Menurut Soekarno, tugas pokok PNI adalah membanting-tulang untuk memberantas segala sikap inferioriteit ini. Bung Karno juga membongkar kebohongan-kebohongan di balik teori penghalusan kolonialisme.
Bung Karno sangat getol menggempur sikap inferioritas ini. Ketika
Indonesia sudah merdeka pun, supaya tidak terperangkap kembali dalam
jebakan imperialisme, Bung Karno mengobarkan konsep Trisakti: berdaulat
di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di
bidang budaya.
Keempat, kontra politik persatuan (kolaborasi) dengan kaum sana (imperialis). Hampir semua tulisan Bung Karno menguraikan perihal pertentangan
kepentingan yang tak terdamaikan antara negara jajahan dan imperialisme. Bagi Bung Karno, negara jajahan tidak akan bisa melakukan emansipasi,
bahkan dalam derajat paling minimum sekalipun, jika tidak
menghancur-leburkan kolonialisme dan imperialisme hingga ke
akar-akarnya.
Oleh karena itu, dalam strategi perjuangannya, Bung Karno
menganjurkan sikap radikalisme (non-koperasi), yakni perjuangan yang
tidak setengah-setengah, apalagi tawar-menawar, yakni perjuangan yang
hendak menjebol kapitalisme-imperialisme hingga ke akar-akarnya. (*) sumber : www.berdikarionline.com
0 komentar:
Posting Komentar